Site icon agungprasetyo blog's

Pesan Di Balik Lagu Ilir-Ilir

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot iro

Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatana, kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padang rembulane
Yo surok’o, surak hiyo…

Lagu ilir-ilir memiliki posisi sendiri dalam sejarah masuknya Islam di Indonesia. Dibuat pertama kali oleh Sunan Kalijaga, banyak pesan mendalam yang ada di balik lirik lagu berbahasa Jawa ini. Tetap kontekstual hingga zaman sekarang.

Demikian lirik lengkap lagu Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga yang terkenal di kalangan umat Islam di Jawa ini. Meski tampak sederhana dan pendek, tapi pesan-pesan moral lagu ini sangatlah dalam dan penting. Marilah, kita mulai.

Kata ilir-ilir mempunyai maksud, hendaklah orang segera bangun dan sadar. Orang yang belum masuk Islam dianggap sebagai orang yang masih tidur dan belum sadar. Pengulangan kata “Ilir-ilir, lir-ilir” mempunyai makna, segeralah bangun dan menuju hal yang lebih segar, yakni Agama Islam.

Sedangkan kata “tandure wis sumilir” mempunyai maksud, benih yang telah ditanam sudah tumbuh, yaitu nilai-nilai agama di dalam dada. Untuk itu, mereka harus menjaganya agar senantiasa bersemi. Jika iman atau benih itu terawat dengan baik, maka ia akan melahirkan dan menumbuhkan buah yang baik pula. Misalnya dengan membaca Al-Qur’an, zikir, dan shalawat.

Sementara kata “tak ijo royo-royo“, mengandung arti bahwa tumbuhan yang subur itu daunnya akan berwana hijau. Seorang muslim itu mempunyai sifat yang baik, suka menolong, dan menyenangkan hati bagi orang lain. Sedangkan kata “tak sengguh penganten anyar“, mempunyai arti pribadi yang baik dan sikap yang sopan, akan disenangi oleh banyak orang.

Dapat ditarik kesimpulan dari bait pertama bahwa tembang ilir-ilir ini adalah bahwa setiap Muslim itu harus bangkit dari tidurnya, dan mengerjakan amal shalih sehingga iman dan Islamnya tumbuh, dan dirinya disenangi banyak orang.

Sementara pada bait kedua, makna  yang bisa diambil adalah bahwa setiap Muslim harus memiliki jiwa yang kuat, pemberani, tidak kenal lelah dan putus asa. Di sini, kata selanjutnya “Cah angon” (Anak gembala) disebutkan hingga dua kali (Cah angon-cah angon), yang artinya itu menunjukkan sebuah perintah yangh harus dilaksanakan.

Perintah itu meyambung pada kalimat “penekno belimbing kuwi” (panjatlah belimbing itu). Kata itu juga menegaskan perintah yang ditugaskan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Tapi bisa juga diartikan, orangtua yang memberikan tugas kepada anaknya untuk memanjat belimbing itu.

Lalu apa yang hendak digembalakan oleh Cah Angon? Yang digembalakan adalah nafsunya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Sebab nafsu itu bila tidak digembalakan (diarahkan), bisa menjerumuskan kita ke dalam lubang yang berbahaya.

Adapun kaya “lunyu-lunyu penekno, kanggo basuh dodot iro” (walaupun licin tetap harus dipanjat, demi membersihkan “pakaian batin” yang kotor). Perintah itu memang susah dilewati, namun ia harus tetap melewati demi sebuah cita-cita yang luhur dan muliah.

Selanjutnya, “dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir, dondomona jlumatana, kanggo seba mengko sore“. Maksud dari syair ini, setiap Muslim hendaklah melakukan tobat yang sesungguhnya sebagai bekalnya kelak diakhirat. “Dodot” itu sendiri berarti “ageman” (pakaian), penggambaran untuk agama atau kepercayaan yang dianut (Islam).

Kumitir bedah ing pinggir, artinya banyaknya robekan-robekan pada bagian tepi pakaian itu. Hendaknya segara dijahit, karena pakaian yang cacat dan rusak tentunya tidak pantas lagi untuk dipakai.

Dondomono jlumatana, sambungan syai berikutnya memiliki makna jahitlah bagian yang robek itu. Hal itu bisa dikaitkan dengan kepercayaan kita yang telah rusak. Hendaklah kita bertobat  dan mau memperbaiki kesalahan tersebut serta tidak mengulanginya lagi.

Segala perbuatan itu yang sudah kita perbaiki tujuannya tidak lain adalah sebagai bekal kita di kehidupan akhirat kelak. Makna tersebut bisa diambil dari kata “kanggo seba mengko sore“. Perjalanan manusia selama di dunia ini hanyalah sebagai persinggahan sementara. Bisa diibaratkan seperti kita menjalankan aktivitas kerja berangkat pagi dan pulang sore.

Mumpung jembar kalangane, mumpung padang rembulane“. Pesan dari kalimat ini adalah, selagi masih waktu, bersegeralah memperbaiki diri. Selagi masih muda, segeralah berbuat kebaikan dan melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan. Waktu yang ada jangan disia-siakan tanpa guna dan berlalu begitu saja tanpa hasil.

Bila hal itu bisa dilaksanakan dengan baik, maka kita akan meraih dan merasakan kegembiraan. Hal itu bisa dilihat dari lirik terakhir, “Yo sorako, sorak hiyo“. Segala kewajiban yang dilaksanakan dengan baik, di akhirat nanti akan mendapatkan balasan yang baik pula. Berbahagialah mereka yang mampu menjalankan segala kewajiban dengan baik tanpa cacat sekalipun.

WEJANGAN WALISONGO

Dalam buku yang berjudul Wejangan Kalisongo karya G Surya Alam, tembang Ilir-Ilir mengandung nasihat atau wejangan untuk menjadi seorang Muslim yang baik. Secara keseluruhan kandungan dalam lagi ini mengandung empat hal.

Pada bait pertama menceritakan tentang kebangkitan Islam. Bait kedua memerintahkan kita untuk melaksanakan kelima rukun Islam semaksimal mungkin. Sementara bait ketiga, menganjurkan kita untuk tobat dan memperbaiki segala kesalahan yang tekah dilakukan. Perbaikan itu diharapkan menjadi bekal untuk menuju kehidupan yang abadi, yaitu akhirat.

Selanjutnya bait keempat, mengajak umat untuk segera memperbaiki diri selagi masih ada kesempatan sebelum datang kesempitan. Selagi sehat sebelum datang sakit, selagi mudah sebelum masa sulit datang. Dan selagi muda sebelum datang masa tua, selagi hidup sebelum datang kematian.

Sunan Kalijaga memakai kata belimbing dalam lagu ini untuk menunjukkan rukun Islam yang harus ditegakkan. Buah belimbing memiliki lima sisi, yang masing-masing dimaknai dengan syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (bila mampu). Kelima rukun Islam itu harus dilaksanakan oleh setiap Muslim agar dapat membentuk dirinya menjadi Insan Kamil (manusia sempurna).

Seorang Muslim sejati harus mampu menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang oleh agama. Semua itu memiliki tujuan agar dirinya menjadi manusia yang berbudi, berakhlak mulia, disayang orang banyak, dengan sifat-sifatnya yang suka menolong orang lain tanpa pamrih.

Sumber:
Susilowati
Majalah Gontor (edisi November 2010)

Exit mobile version